Sunday, April 24, 2011

DISOLUSI

Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukan ke dalam beaker glass yang berisi air atau dimasukan ke dalam saluran cerna (Saluran gastrointestinal), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padanya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami diistegrasi menjadi granul-granul, dan granul-grabuk mengalami pemecahan menjadi partikel halus. Diintegrasi, deagregrasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat di tempat obat tersebut diberikan (Martin, et. al., 2008).
Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik agaknya bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut (Martin, et. al., 2008).
Sejumlah metode untuk menguji disolusi dari tablet dan granul secara in vitro dapat digunakan metode keranjang dan dayung (Martin, et. al., 2008).
Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Martin, et. al., 2008).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Martin, et. al., 2008).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian pada manusia; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro (Ansel, 1989).
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Ansel, 1989)..
Suplemen 3 dari USPXX/NFXV menetapkan bahwa salah satu dari dua alat yang dicantumkan harus digunakan dalam pada penentuan laju larut (laju disolusi). Toleransi uji dinyatakan sebagai persen jumlah atau kadar di etiket obat dari obat yang larut selama batas waktu. Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Ansel, 1989).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep, krim, pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Anief, 1997).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
- Zat aktif mula-mula harus larut
- Zat aktif harus dapat melewati membran saluran cerna (Martin, et. al., 2008).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Martin, et. al., 2008).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a) Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo
b) Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.
c) Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir.
d) Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e) Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f) Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru.
g) Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tebnaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Martin, et. al., 2008).

Faktor yang mempengaruhi Disolusi
1. Suhu
Suhu akan mempengaruhi kecepatan melarut zat. Perbedaan sejauh lima persen dapat disebabkan oleh adanya perbedaan suhu satu derajat.
2. Medium
Media yang paling umum adalah air, buffer dan 0,1 N HCl. Dalam beberapa hal zat tidak larut dalam larutan air, maka zat organik yang dapat merubah sifat ini atau surfaktan digunakan untuk menambah kelarutan. Gunanya adalah untuk membantu kondisi “sink” sehinggan kelarutan obat di dalam medium bukan merupakan faktor penentu dalam proses disolusi. Untuk mencapai keadaan “sink” maka perbandingan zat aktif dengan volume medium harus dijaga tetap pada kadar 3-10 kali lebih besar daripada jumlah yang diperlukan bagi suatu larutan jenuh.
Masalah yang mungkin mengganggu adalah adanya gas dari medium sebelum digunakan. Gelembung udara yang terjadi dalam medium karena suhu naik dapat mengangkat tablet, sehingga dapat menaikkan kecepatan melarut.
3. Kecepatan Perputaran
Kenaikan dalam pengadukan akan mempercepat kelarutan. Umumnya kecepatan pengadukan adalah 50 atau 100 rpm. Pengadukan di atas 100 rpm tidak menghasilkan data yang dapat dipakai untuk membeda-bedakan hasil kecepatan melarut. Bilamana ternyata bahwa kecepatan pengadukan perlu lebih dari 100 rpm maka lebih baik untuk mengubah medium daripada menaikkan rpm. Walaupun 4% penyimpangan masih diperbolehkan, sebaiknya dihindarkan.
4. Ketepatan Letak Vertikal Poros
Disini termasuk tegak lurusnya poros putaran dayung atau keranjang, tinggi dan ketepatan posisi dayung/ keranjang yang harus sentris. Letak yang kurang sentral dapat menimbulkan hasil yang tinggi, karena hal ini akan mengakibatkan pengadukan yang lebih hebat di dalam bejana.
5. Goyangnya poros
Goyangnya poros dapat mengakibatkan hasil yang lebih tinggi karena dapat menimbulkan pengadukan yang lebih besar di dalam medium. Sebaiknya digunakan poros dan bejana yang sama dalam posisi sama bagi setiap percobaan karena masalah yang timbul karena adanya poros yang goyang akan dapat lebih mudah dideteksi.
6. Vibrasi
Bilamana vibrasi timbul, hasil yang diperoleh akan lebih tinggi. Hampir semua masalah vibrasi berasal dari poros motor, pemanas penangas air atau adanya penyebab dari luar. Alas dari busa mungkin dapat membantu, tetapi kita harus hati-hati akibatnya yaitu letak dan kelurusan harus dicek.
7. Gangguan pola aliran
Setiap hal yang mempengaruhi pola aliran di dalam bejana disolusi dapat mengakibatkan hasil disolusi yang tinggi. Alat pengambil cuplikan serta adanya filter pada ujung pipet selama percobaan berlangsung dapat merupakan penyebabnya.
8. Posisi pengambil cuplikan
Posisi yang dianjurkan untuk pengambilan cuplikan adalah di antara bagian puncak dayung (atau keranjang) dengan permukaan medium (code of GMP). Cuplikan harus diambil 10-25 mm dari dinding bejana disolusi, karena bagian ini diperkirakan merupakan bagian yang paling baik pengadukannya.
9. Formulasi bentuk sediaan
Penting untuk diketahui bahwa hasil kecepatan melarut yang aneh tidaklah selalu disebabkan oleh masalah peralatan saja, tetapi beberapa mungkin juga disebabkan oleh kualitas atau formulasi produknya sendiri. Beberapa faktor yang misalnya berperan adalah ukuran partikel dari zat berkhasiat, Mg stearat yang berlebih sebagai lubrikan, penyalutan terutama dengan shellak dan tidak memadainya zat penghancur. Ada juga yang menambahkan faktor kekerasan tablet.
10. Kalibrasi alat disolusi
Kalibrasi alat disolusi selama ini banyak diabaikan orang, ternyata hal ini merupakan salah satu faktor yang paling penting. Tanpa melakukannya tidak dapat kita melihat adanya kelainan pada alat. Untuk mencek alat disolusi digunakan tablet khusus untuk kalibrasi yaitu tablet prednisolon 50 mg dari USP yang beredar di pasaran. Tes dilakukan pada kecepatan dayung atau keranjang 50 dan 100 rpm. Kalibrasi harus dilakukan secara teratur minimal setiap enam bulan sekali (Martin, et. al., 2008).



DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat: Teori dan Praktik. UGM Press. Yogyakarta.
Ansel, C. H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Martin, A., Swarbrick, J., & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik 2. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Read more »

Thursday, April 21, 2011

Laporan Praktikum KFA II

Laporan Praktikum KFA II Komputasi (Macelignan MM+) Download
Read more »

Saturday, April 16, 2011

KARSINOGEN

Kanker tidak tumbuh dan berkembang begitu saja di dalam tubuh kita. Ada beberapa hal yang mampu memicu perubahan sel normal menjadi sel mutan. Sel mutan ini kemudian terus berkembang dari satu sel menjadi jutaan sel. Namun sel mutan ini tidak dapat tumbuh begitu saja karena ada sistem imun tubuh yang berusaha untuk menghancurkannya.
Namun bila sistem imun tubuh lemah maka sel mutan ini akan terus berkembang menjadi jutaan jumlahnya dan berkembang menjadi jaringan kanker. Ada beberapa hal yang dapat memicu terjadinya kanker baik secara internal maupun eksternal.
Apabila tubuh kita sering terkena infeksi yang berkepanjangan, radiasi, sinar ultar violet dan banyak kemasukan bahan-bahan kimia baik melalui makanan, udara maupun air hal tersebut dapat memicu terjadinya kanker.
Bahan-bahan kimia yang tidak diperlukan oleh tubuh itu tertimbun sedikit-sedikit di dalam tubuh. Sebenarnya tubuh sendiri telah berusaha untuk mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna itu melalui proses detoksifikasi. Namun tidak semua zat-zat tersebut dapat dibuang secara sempurna. Dalam proses detoksifikasi seringkali senyawa yang dihasilkan justru lebih berbahaya yaitu senyawa yang bersifat radikal atau karsinogenik.
Pada saat senyawa karsinogenik masuk kedalam sel dan berikatan dengan gen sel maka sel akan mengalami mutasi. Tahap ini adalah tahap awal terjadinya kanker.Tahap ini disebut tahap inisiasi.

Gbr. Mutasi Gen Normal ke Gen Kanker


Sel yang telah bermutasi dan menjadi sel kanker tidak langsung berkembang biak tapi memerlukan rangsangan dari senyawa yang bersifat promotor. Senyawa promotor ini akan menyebabkan sel kanker berkembangan biak dari satu sel menjadi jutaan sel dan membentuk jaringan kanker. Ini adalah tahap kedua dalam terjadinya kanker atau biasa disebut tahap progesi.

Gbr. Gen termutasi dan berkembang biak menjadi sel kanker akibat rangsangan yang dibawa oleh promotor gen.

Tahap ketiga disebut metastase. Awalnya sel-sel yang telah bermutasi ini menghisap sari-sari makanan untuk tumbuh secara pelahan. Sel kanker ini dapat berubah pertumbuhannya dari lambat menjadi cepat dan menyebarkan diri. Pada tahap ini sel kanker berusaha dengan segala cara untuk dapat terus berkembang seperti membuat pembuluh darah sendiri dan meracuni jaringan hidup disekitarnya agar dia dapat menyedot sari-sari makanan dengan mudah.

Gbr. Ketika gen termutasi, protein dikode oleh gen yang abnormal. Beberapa protein yang diganti menjadi tidak berarti, sedangkan yang lainnya lumpuh.

Pada tahap ini zat gizi yang diperoleh dari makanan bisa digunakan oleh sel normal tapi juga bisa digunakan oleh sel kanker untuk terus berkembang biak. Bila telah memasuki fase ini, kanker sulit untuk disembuhkan.
Terjadi perbedaan penting antara sel normal dan sel kanker yang mencerminkan kekacauan siklus sel. Jika dan ketika berhenti membelah, sel kanker melakukan halini pada sembarang titik dalam siklusnya, bukan pada checkpoint normal saja. Checkpoint dalam siklus sel merupakan titik pengontrolan yang kritis dimana siklus berhenti dan sinyal terus dapat mengatur siklus sel. Di samping itu, sel kanker dapat terus membelah secara tidak terbatas jika sel tersebut diberi pasokan nutrient secara terus-menerus. Sel itu dikatakan menjadi abadi. Sel kanker memiliki beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan sel normal. Sel kanker tidak mempunyai control pertumbuhan, daya lekat sel kanker berkurang dan bahkan tidak ada sehingga jika ditanam pada media kultur jaringan akan diperoleh pertumbuhan yang berlapis-lapis tidak teratur. Sel kanker mempunyai system enzim yang berbeda yaitu jumlah macam enzim pada sel kanker lebih sedikit bila dibandingkan dengan sel normal.
Hingga saat ini belum diketahui penyebab tunggal untuk terjadinya kanker. Begitu banyak penyebab yang diduga sebagi pemicu terjadinya kanker. Namun dari berbagai penelitian, dapat diketahui bahwa karsinogen atau penyebab kanker dapat digolongkan ke dalam 4 golongan yaitu :
a. Bahan Kimia
Karsinogen bahan kimia melalui metabolisme membentuk gugus elektrofilik yang kurang muatan elektron, sebagai hasil antara, yang kemudian dapat berikatan dengan pusat-pusat nukleofilik pada protein, RNA dan DNA.
b. Virus
Karsinogen virus contohnya adalah pada golongan virus DNA seperti Human papiloma virus yang menyebabkan kanker penis atau vulva ; Epstein Barr virus yang menyebabkan karsinoma nasofaring dan limfoma Burkitt , cytomegalovirus yang menyebaban sarkoma kaposi pada penderita AIDS , virus hepatitis B yang menyebabkan kanker hati.
c. Radiasi
Karsinogen radiasi, terutama radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 290-370 nm berkaitan dengan terjadinya kanker kulit.
d. Agen Biologi
Karsinogen agen biologi antara lain hormon estrogen yang membantu pembentukan kanker payudara dan kanker rahim.
Kanker dapat terjadi pada hampir semua bagian tubuh terutama pada bagian tubuh yang selnya aktif dan sering berganti. Ibaratnya sekarang ini semua manusia hidup di dalam lautan bahan-bahan karsinogenik dan bila tidak waspada maka bukan tidak mungkin akan terserang kanker.
Read more »

Tuesday, April 12, 2011

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)

Tugas Teknologi Sediaan Non Steril

Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB)

Good Manufacturing Practice (GMP)-Cara Pembuatan Obat Baik (CPOB) adalah sistem yang memastikan produk dibuat dan dikontrol secara konsisten sesuai kualitas standar. Dibuat untuk meminimalkan risiko pada produk farmasi yang tidak dapat disingkirkan lagi saat produk diuji saat sudah jadi. Risiko utama adalah : kontaminasi, menyebabkan gangguan kesehatan bahkan kematian; label yang tidak benar; bahan aktif yang terlalu sedikit atau terlalu banyak, berakibat pengobatan tidak efektif atau menimbulkan efek samping. CPOB meliputi semua proses produksi; mulai dari bahan awal, tempat, dan alat sampai pelatihan dan kebersihan dari pekerja. Prosedur tertulis dari tiap proses produksi adalah komponen penting yang dapat mempengaruhi kualitas akhir dari produk. WHO telah mengeluarkan panduan untuk CPOB.

Industri Farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak bertanggung jawab. Untuk pencapaian tujuan ini melalui ’Kebijakan Mutu”, yang memerlukan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu yang di desain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar.

Persyaratan Industri Farmasi
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi,karena itu industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkanoleh Menteri Kesehatan. Persyaratan industri farmasi tercantum dalam SuratKeputusan Menteri Kesehatan RI No. 245//Menkes/SK/V/1990 adalah sebagai berikut :
 Industri farmasi merupakan suatu perusahaan umum, badan hukumberbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
 Memiliki rencana investasi.
 Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
 Industri farmasi obat jadi dan bahan baku wajib memenuhi persyaratanCPOB sesuai dengan ketentuan SK Menteri Kesehatan No.43/Menkes/SK/II/1988.
 Industri farmasi obat jadi dan bahan baku, wajib mempekerjakan secaratetap sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga Negara Indonesia,masing-masing sebagai penanggung jawab produksi dan penanggungjawab pengawasan mutu sesuai dengan persyaratan CPOB.
 Obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkansetelah memperoleh izin edar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Izin usaha industri farmasi
Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin ini berlaku seterusnya selama industri tersebut berproduksi dengan perpanjangan izin setiap 5 tahun, sedangkan untuk industrifarmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa berlakunya sesuai denganketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya.

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
CPOB merupakan pedoman yang harus diterapkan dalam seluruh rangkaian proses di industri farmasi dalam pembuatan obat jadi, sesuai dengankeputusan Menteri Kesehatan RI No. 43/Menkes/SK/II/1988 tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik. Pedoman CPOB bertujuan untuk menghasilkan produk obat yang senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.Obat yang berkualitas adalah obat jadi yang benar-benar dijamin bahwa obat tersebut :
- Mempunyai potensi atau kekuatan untuk dapat digunakan sesuai tujuannya.
- Memenuhi persyaratan keseragaman, baik isi maupun bobot.
- Memenuhi syarat kemurnian.
- Memiliki identitas dan penandaan yang jelas dan benar.
- Dikemas dalam kemasan yang sesuai dan terlindung dari kerusakan dankontaminasi.
- Penampilan baik, bebas dari cacat atau rusak.
Konsep CPOB yang bersifat dinamis yang memerlukan penyesuaian dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan teknologi di bidang farmasi. Aspek-aspek yang merupakan cakupan CPOB tahun 2006 meliputi 12 aspek yangdibicarakan, yaitu :
1. Sistem Mutu,
2. Personalia
3. Bangunan dan Sarana Penunjang,
4. Peralatan,
5. Sanitasi dan Higiene,
6. Produksi,
7. Pengawasan Mutu,
8. Inspeksi Diri dan Audit Mutu,
9. Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan
Produk Kembalian.
10.Dokumentasi,
11.Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak,
12.Kualifikasi dan Validasi

Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam CPOB meliputi persyaratan-persyaratan dari personalia yang terlibat dalam industri farmasi, bangunan dan fasilitas, peralatan, sanitasi dan higiene, produksi, pengawasan mutu, insfeksi diri, penanganan keluhan obat dan obat kembalian serta penarikan kembali obat, dan dokumentasi. Ketentuan-ketentuan ini menjamin proses produksi obat yang berkualitas, bermutu, aman, dan dapat dipertanggung jawabkan.

A. Personalia
Sesuai dengan tuntutan CPOB, maka bagian produksi dan pengawasan mutu (QC) masing-masing dipegang oleh apoteker yang berbeda dan tidak saling bertanggung jawab satu sama lain. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada, secara rutin memberikan pelatihan-pelatihan bagi karyawannya meliputi pelatihan CPOB, pelatihan operasional mesin/alat, serta pelatihan keselamatan diri.

B. Bangunan
Dalam rangka pemenuhan CPOB, dalam memilih bangunan hendaklah diperhatikan apakah ada sumber pencemaran yang berasal dari lingkungan, dan bangunan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga dapat menunjang kemampuan produksi.

C. Peralatan
Peralatan sebelum digunakan hendaklah dikualifikasi dan penempatannya juga harus disesuaikan dengan alur produksi sehingga dapat memperlancar jalannya produksi dan dapat mencegah terjadinya kontaminasi silang. Setiap peralatan yang digunakan dikalibrasi secara berkala, sehingga hasil pengukurannya dapat dipertanggung jawabkan.

D. Sanitasi dan Higiene
Setiap karyawan terutama di bagian produksi, pada saat memasuki ruang produksi harus mencuci tangan dengan desinfektan, dan menggunakan pakaian khusus yang bersih dilengkapi dengan penutup rambut dan sepatu khusus.
Untuk menjamin kebersihan ruangan produksi dan mencegah kontaminasi, disediakan ruang penyangga yang berfungsi sebagai pembatas antara ruang abu-abu (Grey Area) dan ruang hitam (Black Area). Karyawan dilarang merokok, makan, minum, atau menyimpan makanan dan minuman di ruang produksi dan laboratorium atau di dalam ruangan lain yang kemungkinan dapat menurunkan kualitas dari produk.

E. Produksi
Untuk menjaga mutu obat yang dihasilkan, maka setiap tahap dalam proses produksi selalu dilakukan pengawasan mutu In Process Control (IPC).
Setiap penerimaan bahan awal baik bahan baku dan bahan kemas terlebih dahulu diperiksa dan disesuaikan dengan spesifikasinya. Bahan-bahan tersebut harus selalu disertai dengan Certificate of Analisis (CA) yang dapat disesuaikan dengan hasil pemeriksaan.

F. Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu produk dilaksanakan secara ketat oleh bagian Quality Control (QC) dan juga dilakukan oleh In Process Control pada setiap proses produksi. Retain sample atau sample pertinggal disimpan dibagian Quality Assurance (QA) pada temperatur kamar. Retain sample berguna untuk menangani apabila ada keluhan produk di kemudian hari, sebagai acuan produk untuk setiap bets.

G. Penanganan Keluhan Terhadap Obat, Penarikan Kembali Obat dan Obat Kembalian
Penarikan kembali obat jadi dapat berupa penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh obat jadi tertentu, dari semua mata rantai distribusi, Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi syarat kualitas atau atas dasar pertimbangan adanya efek samping yang tidak diperhitungkan dan merugikan kesehatan.

H. Dokumentasi
Semua kegiatan yang berkaitan dengan proses produksi obat harus didokumentasikan. Sistem dokumentasi yang baik dapat menggambarkan riwayat lengkap dari suatu bets obat (batch record), sehingga memungkinkan untuk penelusuran kembali bila terjadi masalah pada produk tersebut.

Pemetaan (Mapping) Industri Farmasi Melalui Penerapan CPOB
Pemetaan industri farmasi yang ditetapkan oleh BPOM yang diimplementasikan dalam CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) untuk industri farmasi merupakan persyaratan bagi industri farmasi untuk melaksanakan kegiatan produksi. Prinsip dasar pemetaan (mapping) penerapan CPOB industri farmasi adalah pemetaan tingkat kemampuan industri farmasi dalam penerapan standar CPOB yang dinamis menggunakan standar checklist, yang merupakan usaha pemerintah dalam rangka untuk meningkatkan pemenuhan terhadap standar dan persyaratan CPOB yang dinamis dan penerapannya konsisten, sehingga masyarakat memperoleh produk obat yang berkualitas dan aman.
Langkah-langkah dalam pemetaan meliputi :
1. Persiapan
- Kajian data penerapan CPOB
2. Penyusunan alat pemetaan
- Identifikasi komponen persyaratan CPOB global
- Penyusunan checklist pemetaan industri farmasi
- Penyusunan SOP, yaitu mekanisme pemetaan dan tim pemetaan
3. Penyamaan persepsi
- Sosialisasi prinsip dasar program pemetaan industri farmasi
- Sosialisasi checklist pemetaan industri farmasi

Pemetaan Kewenangan QA/QC
Sistem manajemen mutu merupakan sistem untuk menjamin bahwa bahan-bahan yang digunakan dan dihasilkan oleh perusahaan, baik berupa bahan baku, bahan kemas, produk ruahan dan produk jadi telah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.
Pada dasarnya, kegiatan pengawasan mutu dilakukan oleh bagian QC yang meliputi pemeriksaan yang luas, tidak hanya pemeriksaan terhadap bahan dan produk, tetapi juga meliputi pemeriksaan kualitas air, kualitas ruangan, kualitas limbah, kualitas kesehatan lingkungan kerja dan pemeriksaan terhadap proses-proses penunjang produksi lainnya. Sedangkan pemastian mutu dilakukan oleh bagian QA yang meliputi pemastian mutu bahan baku, bahan kemas, pemastian mutu produksi, pemastian mutu mikrobiologi, dan pemastian mutu produk jadi.
Pemetaan Pengendalian Perubahan
Pengendalian perubahan dimaksudkan untuk mengetahui perubahan yang terjadi baik perubahan proses, formula, alat/mesin, metode analisis, kondisi bahan awal (bahan baku dan bahan kemasan), maupun perubahan-perubahan lain yang dapat mempengaruhi kualitas atau mutu produk secara langsung maupun tidak langsung.
Bagian Pemastian Mutu/Pengawasan Mutu (QA/QC) mempunyai peranan dalam pengendalian terhadap perubahan, dan setiap perubahan termuat dalam Peraturan Tetap (Protap) perusahaan. Sarana penunjang proses, dokumen dan peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat dievaluasi dalam pengendalian perubahan sebelum suatu perubahan dilakukan. Semua perubahan memerlukan persetujuan QA/QC sebelum penerapannya terhadap proses, bahan, metode, peralatan, sarana penunjang, dan dokumen dicatat/dibukukan dalam log book yang disediakan oleh QA/QC.
Pemetaan Pelulusan Bets
Tanggung jawab atas persetujuan dan pelulusan bahan awal, produk antara, produk ruahan dan obat jadi tercakup dalam Sistem Manajemen Mutu/Protap. Protap ini merupakan tanggung jawab dan wewenang bagian Pemastian Mutu/Pengawasan Mutu (QA/QC). Tersedia Protap pelulusan obat jadi yang mencakup checklist yang dikaji dalam Catatan Bets. Pengkajian terhadap Catatan bets sebelum pelulusan suatu bets dilakukan oleh QA/QC. Jika telah lulus pemeriksaan QC, maka bets akan diberi label hijau, sedangkan jika ditolak, diberi label merah. Dan produk yang masih menunggu hasil pemeriksaan selanjutnya diberi label kuning (karantina).

Pemetaan Penanganan Penyimpangan
Tersedia Protap yang menetapkan dan mengatur Penanganan Penyimpangan termasuk Penyimpangan Bets. Seluruh penyimpangan bets mengalami proses penyelidikan terhadap penyimpangan, seperti penyimpangan dari batasan operasi sarana penunjang yang divalidasi (udara, air, gas, listrik) dievaluasi sesuai prosedur sistem penanganan penyimpangan. Setiap penyimpangan didokumentasikan dan dilakukan trend analisis oleh QA/QC, dan QA/QC mempunyai tanggung jawab untuk memberikan persetujuan/penandatanganan akhir terhadap laporan penyimpangan.

Pemetaan Pengolahan Ulang
Pengolahan ulang dimaksudkan untuk menjaga kestabilan dari suatu bets. Setiap dilakukan pengolahan ulang dari suatu bets produk, tersedia Protap yang disetujui dan disahkan bagian QA/QC khusus bets yang diolah ulang. Selain dilakukan pemeriksaan pengolahan ulang dilakukan pemeriksaan tambahan, misalnya Follow Up Stability study (FUS) terhadap bets yang diolah ulang.

Pembuatan Prosedur Tetap (Protap)
Prosedur tetap adalah salah satu dokumen yang harus dibuat oleh setiap bagian yang terdapat di perusahaan. Pembuatan Protap ini harus memperoleh persetujuan dari bagian-bagian terkait. Sebagai contoh Protap ”Pengendalian Perubahan” yang dibuat oleh bagian R&D, harus dietujui oleh bagian Quality Control. Selanjutnya, pembuatan Protap tersebut harus disahkan oleh Plant Manager.

Silakan download modul pelatihan CPOB disini
Read more »

 
Powered by Blogger