Wednesday, January 11, 2012

Sediaan Transdermal

Ketika diberikan secara oral, banyak obat yang dirusak oleh hati. Pemberian obat melalui kulit sering menawarkan alternatif rute pelepasan yang lebih lambat, lebih terkontrol ke aliran darah. Mekanisme bagaimana obat berpenetrasi ke kulit dan masuk ke aliran darah bukanlah hal yang sepele, karena kulit bertindak sebagai pembatas alami. Oleh karena itu, penting untuk memahami struktur kulit, dan pada stratum corneum tertentu, atau permukaan lebih luar, sebelum mencoba menempatkan obat untuk melaluinya. Sekelompok pekerja dari Leiden Center for Drug Research di Belanda telah menggunakan SRS untuk mempelajari masalah ini secara detil.


Gb1. Sudut lebar pola difraksi dari stratum corneum yang terekam oleh SRS

Secara struktural, kulit terdiri dari dua bagian utama; bagian luar, lapisan tipis disebut epidermis dan bagian dalam yang lebih tebal disebut dermis. Epidermis (Gb.2), terdiri dari sel yang morfologi dan fungsinya berubah secara berkelanjutan dari basal ke permukaan lebih atas. Kerja ini telah difokuskan pada pembelajaran struktur dari stratum corneum yang terdiri dari sel mati yang rata (corneocyte), yang mana terisi oleh keratin sepenuhnya. Area antara sel terisi dengan lipid, yang membentuk fase lamellar sebagai pembentuk barrier alami kulit. Lipid ini hanya terdiri dari 1% stratum corneum dan SRS penting untuk mempelajarinya dengan skala waktu yang masuk akal. Komposisi lipid juga berubah sepanjang epidermis, dengan stratum corneum disusun terutama oleh asam lemak bebas, kolesterol dan ceramides.


Gb.2. Gambaran skema epidermis kulit. Struktur stratum corneum ditunjukkan pada gambar sebelah kiri.

Transdermal patch atau plester transdermal atau plester kulit adalah plester adesif yang mengandung obat yang ditempatkan pada kulit untuk menghantarkan dosis pelepasan obat berdasarkan waktu melalui kulit dank e dalam aliran darah. Plester transdermal digunakan untuk menghantarkan sediaan farmasi dengan variasi luas. Pertama kali tersedia secara komersil dan disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat pada Desember 1979, yaitu scopolamine untuk mabuk kendaraan. Plester kulit yang paling dikenal saat ini adalah plester nikotin yang melepaskan nikotin untuk membantu menghentikan kebiasaan merokok. Plester kulit lain yang didaftarkan adalah estrogen untuk menopause dan mencegah osteoporosis pasca menopause, nitrogliserin untuk angina, dan lidokain untuk menghilangkan rasa sakit akibat ruam saraf (herpes zoster). Perkembangan terbaru memperluas penggunaannya untuk menghantarkan hormone, antidepresan dan bahkan pembunuh rasa sakit. Beberapa sediaan farmasi harus dikombinasikan dengan senyawa lain seperti alcohol untuk meningkatkan kemampuannya dalam berpenetrasi ke dalam kulit agar dapat digunakan dalam bentuk plester transdermal. Molekul insulin dan banyak sediaan farmasi lain yang terlalu besar untuk dihantarkan melalui kulit.


Gb.3. Contoh gambar plester transdermal

Referensi
Bowstra, J. 2006. Transdermal Drug Administration. Available in http://srs.dl.ac.uk/Annual_Reports/AnRep94_95/Ch2/Transdermal.htm.
Anonymous. 2007. Transdermal Patch. Available in http://en.wikipedia.org/wiki/Transdermal_patch.
Read more »

Pemberian Cairan Infus

Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:
  • Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
  • Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
  • Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)
  • “Serangan panas” (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)
  • Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi)
  • Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh)
  • - Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
  • Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya perawatan.
  • Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung.
  • Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
  • Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak—obat masuk ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.
  • Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous Cannulation)
  • Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
  • Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.
  • Pemberian kantong darah dan produk darah.
  • Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
  • Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat)
  • Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur infus.
  • Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah Vena
  • Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
  • Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
  • Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus:
  • Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
  • Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.
  • Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
  • Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus:
  • Rasa perih/sakit
  • Reaksi alergi
Jenis Cairan Infus
  • Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
  • Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
  • Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
  • Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
  • Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid.
Pemberian Cairan Infus pada Anak
Berapa Banyak Cairan yang Dibutuhkan Anak Sehat?
Anak sehat dengan asupan cairan normal, tanpa memperhitungkan kebutuhan cairan yang masuk melalui mulut, membutuhkan sejumlah cairan yang disebut dengan “maintenance”.
Cairan maintenance adalah volume (jumlah) asupan cairan harian yang menggantikan “insensible loss” (kehilangan cairan tubuh yang tak terlihat, misalnya melalui keringat yang menguap, uap air dari hembusan napas dalam hidung, dan dari feses/tinja), ditambah ekskresi/pembuangan harian kelebihan zat terlarut (urea, kreatinin, elektrolit, dll) dalam urin/air seni yang osmolaritasnya/kepekatannya sama dengan plasma darah.
Kebutuhan cairan maintenance anak berkurang secara proporsional seiring meningkatnya usia (dan berat badan). Perhitungan berikut memperkirakan kebutuhan cairan maintenance anak sehat berdasarkan berat bdan dalam kilogram (kg).
Cairan yang digunakan untuk infus maintenance anak sehat dengan asupan cairan normal adalah:
NaCl 0.45% dengan Dekstrosa 5% + 20mmol KCl/liter
Penyalahgunaan cairan infus yang banyak terjadi adalah dalam penanganan diare (gastroenteritis) akut pada anak.

Pemberian cairan infus banyak disalahgunakan (overused) di Unit Gawat Darurat (UGD) karena persepsi yang salah bahwa jenis drehidrasi ini lebih cepat menangani diare, dan mengurangi lama perawatan di RS.
Gastroenteritis akut disebabkan oleh infeksi pada saluran cerna (gastrointestinal), terutama oleh virus, ditandai adanya diare dengan atau tanpa mual, muntah, demam, dan nyeri perut. Prinsip utama penatalaksanaan gastroenteritis akut adalah menyediakan cairan untuk mencegah dan menangani dehidrasi.6
Penyakit ini umumnya sembuh dengan sendirinya (self-limiting), namun jika tidak ditangani dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang bisa mengancam nyawa. Dehidrasi yang diakibatkan sering membuat anak dirawat di RS.6
Terapi cairan yang diberikan harus mempertimbangkan tiga komponen: rehidrasi (mengembalikan cairan tubuh), mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, dan “maintenance”.3 Terapi cairan ini berdasarkan penilaian derajat dehidrasi yang terjadi.
Penilaian Derajat Dehidrasi (dinyatakan dalam persentase kehilangan berat badan)3
Tanpa Dehidrasi:
  • Diare berlangsung, namun produksi urin normal, maka makan/minum dan menyusui diteruskan sesuai permintaan anak (merasa haus).
  • Dehidrasi Ringan (< 5%) - Kotoran cair (watery diarrhea) - Produksi urin (air seni) berkurang - Senantiasa merasa haus - Permukaan lapisan lendir (bibir, lidah) agak kering - Dehidrasi Sedang (5-10%) - Turgor (kekenyalan) kulit berkurang - Mata cekung - Permukaan lapisan lendir sangat kering - Ubun-ubun depan mencekung - Dehidrasi Berat (>10%)

Tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah:
  • Denyut nadi cepat dan isinya kurang (hipotensi/tekanan darah menurun)
  • Ekstremitas (lengan dan tungkai) teraba dingin
  • Oligo-anuria (produksi urin sangat sedikit, kadang tidak ada), sampai koma
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian CRO dalam penatalaksanaan diare (gastroenteritis) pada anak dengan dehidrasi derajat ringan-sedang. Penggunaan cairan infus hanya dibatasi pada anak dengan dehidrasi berat, syok, dan ketidakmampuan minum lewat mulut.5
Terapi rehidrasi (pemberian cairan) oral (oral rehydration therapy) seperti oralit dan Pedialyte® terbukti sama efektifnya dengan cairan infus pada diare (gastroenteritis) dengan dehidrasi sedang.4 Keuntungan tambahan lain adalah waktu yang dibutuhkan untuk memberikan terapi CRO ini lebih cepat dibandingkan dengan harus memasang infus terlebih dahulu di Unit Gawat Darurat (UGD) RS. Bahkan dalam analisis penatalaksanaan, pasien yang diterapi dengan CRO sedikit yang masuk perawatan RS. Hasil penelitian ini meyarankan cairan rehidrasi oral menjadi terapi pertama pada anak diare di bawah 3 tahun dengan dehidrasi sedang.
Pada anak dengan muntah dan diare akut, apakah pemberian cairan melalui infus (intravenous fluids) mempercepat pemulihan dibandingkan dengan cairan rehidrasi oral (oral rehydration therapy/solution/CRO/oralit)?
Ternyata pemberian cairan infus tidak mempersingkat lamanya penyakit, dan bahkan mampu menimbulkan efek samping dibandingkan pemberian oralit.5
Sebuah penelitian meta analisis internasional yang membandingkan CRO (oralit) dengan cairan intravena/infus pada anak dengan derajat dehidrasi ringan sampai berat menunjukkan bahwa CRO mengurangi lamanya perawatan di RS sampai 29 jam.5 Sebuah studi lain juga menyimpulkan CRO menangani dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) dan asidosis (keasaman darah meningkat) lebih cepat dan aman dibandingkan cairan infus.5 Penelitian lain menunjukkan keuntungan lain oralit pada diare dengan dehidrasi ringan-sedang adalah mengurangi lamanya diare, meningkatkan (mengembalikan) berat badan anak, dan efek samping lebih minimal dibandingkan cairan infus.
Pengawasan (Monitoring)
  • Semua anak yang mendapatkan cairan infus sebaiknya diukur berat badannya, 6 –8 jam setelah pemberian cairan, dan kemudian sekali sehari.
  • Semua anak yang mendapatkan cairan infus sebaiknya diukur kadar elektrolit dan glukosa serum sebelum pemasangan infus, dan 24 jam setelahnya.
  • Bagi anak yang tampak sakit, periksa kadar elektrolit dan glukosa 4 – 6 jam setelah pemasangan, dan sekali sehari sesudahnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Children’s Hospital Melbourne. http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm
2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80; 1-6.
3. Nutrition Committee, Canadian Paediatric Society. Oral Rehydration Therapy and Early Refeeding in the Management of Childhood Gastroenteritis. The Canadian Journal of Paediatrics 1994; 1(5): 160-164.
4. Spandorfer PR, Alessandrini EA, Joffe MD, Localio R, Shaw KN. Oral Versus Intravenous Rehydration of Moderately Dehydrated Children: A Randomized, Controlled Trial. Pediatrics Vol. 115 No. 2 February 2005. American Academy of Pediatrics.
5. Banks JB, Meadows S. Intravenous Fluids for Children with Gastroenteritis. Clinical Inquiries, American Family Physician, January 1 2005. American Academy of Family Physicians.
6. D Payne J, Elliot E. Gastroenteritis in Children. Clin Evid 2004; 12: 1-3. BMJ Publishing Group Ltd 2004.
7. Eliason BC, Lewan RB. Gastroenteritis in Children: Principles of Diagnosis and Treatment. American Family Physician Nov 15 1998. American Academy of Family Physicians.
8. Revision of Intravenous Infusion
9. Martin S. Intravenous Therapy. Nova Southeastern University PA Program.
Popularity: unranked [?]
Read more »

Monday, January 9, 2012

Sistem syaraf otonom

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem syaraf ini terdiri dari atas serabut syaraf-syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obat-obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor. Termasuk kelompok ini pula adalah beberapa kelenjar (ludah, keringat dan pencernaan) dan juga otot jantung, yang sebagai pengecualian bukan merupakan otot polos, tetapi suatu otot lurik. Dengan demikian, sistem saraf otonom tersebar luas di seluruh tubuh dan fungsinya adalah mengatur secara otomatis keadaan fisiologi yang konstan, seperti suhu badan, tekanan, dan peredaran darah, serta pernapasan (Tjay & Rahardja, 2002).

Anatomi Susunan Saraf Otonom
Sistem saraf otonom membawa impuls saraf dari susunan saraf pusat ke organ efektor melalui 2 jenis serat saraf eferen yaitu saraf praganglion dan saraf pascaganglion. Lingkaran refleks saraf otonom terdiri dari serat aferen yang sentripental disalurkan melalui N. vagus, pelvikus, splanknikus, dan saraf otonom lainnya. Badan sel serat-serat ini terletak di ganglia dalam kolumna dorsalis dan ganglia sensorik dari saraf kranial tertentu. Tidak jelas perbedaan antara serabut aferen sistem saraf otonom dengan serabut aferen sistem somatik, sehingga tidak dikenal obat yang secara spesifik dapat mempengaruhi serabut aferen otonom. Serat eferen yang disalurkan melalui saraf praganglion, ganglion, dan saraf pascaganglion berakhir pada sel efektor (Tjay & Rahardja, 2002).
Saraf otonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ otonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat otonom, yaitu di medulla oblongata terdapat pengatur pernapasan dan tekanan darah; hipotalamus dan hipofisis yang mengatur suhu tubuh, keseimbangan air, metabolisme karbohidrat dan lemak, pusat tidur dan sebagainya. Hipotalamus dianggap sebagai pusat sistem saraf otonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi lagi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara sistem otonom dan somatik (Tjay & Rahardja, 2002).
Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis disalurkan melalui serat torakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3, dalam sistem ini termasuk ganglia paravertebral, pravertebral dan ganglia terminal. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outflow disalurkan melalui saraf otak ke III, VII, IX dan X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral segmen 2, 3, dan 4. Sebagian besar neuron praganglion parasimpatis berakhir di sel-sel ganglion yang tersebar merata atau yang terdapat pada dinding organ efektor (Mutschler, 1991).
Serat aferen misalnya yang berasal dari presoreseptor dan kemoreseptor dalam sinus karotikus, badan karotis dan aorta yang diteruskan melalui N. IX dan X menuju ke medulla oblongata. Sistem ini berhubungan dengan refleks untuk mempertahankan tekanan darah, frekuensi jantung dan pernapasan (Mutschler, 1991).
Neurotransmitter yang memperantarakan perpindahan impuls di serabut aferen belum jelas dipahami. Salah satu dugaan adalah substansi P yang terdapat di serabut sensoris aferen akar dorsal ganglia dan tanduk dorsal medulla spinalis. Substansi P diduga berfungsi pada penyampaian stimulus nyeri ke pusat. Peptida lain yaitu somatostatin, polipeptida vasoaktif intestinal (VIP, Vasoactive Intestinal Polipeptide) dan kolesistokinin juga diduga berperan pada penyampaian impuls aferen dari organ otonom. Enfekalin di interneuron medulla spinalis dorsalis di area substansia gelatinosa berefek antinosiseptif yang ditimbulkan lewat aksi prasipnatik dan pascasipnatik, menghambat penglepasan substansi P (Mutschler, 1991).
Terdapat 5 perbedaan pokok antara saraf otonom dan saraf somatik yaitu
1. Saraf otonom menginervasi semua struktur dalam tubuh kecuali otot rangka;
2. Sinaps saraf otonom simpatis terletak dalam ganglia yang berada di medulla spinalis, yakni ganglio pravertebralis dan ganglia paravertebralis. Tetapi sinaps saraf otonom parasimpatis berakhir di ganglia parasimpatis, yang terdapat di luar organ yang dipersarafi, yakni ganglia siliaris, pterigopalatina, submandibula, otikus dan pelvis. Saraf somatik hanya mempunyai satu jenis neuron motorik, yang berasal dari otak atau medulla spinalis langsung menuju otot rangka tanpa melalui ganglia;
3. Saraf otonom membentuk pleksus yang terletak di luar susunan saraf pusat, saraf somatik tidak membentuk pleksus;
4. Saraf somatik diselubungi sarung mielin, saraf otonom pasca ganglion tidak bermielin;
5. Saraf otonom menginervasi sel efektor yang bersifat otonom, artinya sel efektor itu dapat berfungsi tanpa persarafan. Sebaliknya, jika saraf somatik putus maka otot rangka yang bersangkutan mengalami paralisis disusul atropi otot (Mutschler, 1991).

Fungsi Sistem Saraf Otonom
Sistem saraf otonom berfungsi untuk memelihara keseimbangan dalam organism (sistem dunia dalam). Sistem ini mengatur fungsi-fungsi yang tidak di bawah kesadaran dan kemauan, di antaranya:
• Sirkulasi, dengan cara menaikkan atau menurunkan aktivitas jantung dan khususnya melalui penyempitan atau pelebaran pembuluh-pembuluh darah.
• Pernapasan, dengan cara menaikkan atau menurunkan frekuensi pernapasan dan penyempitan atau pelebaran otot bronkhus.
• Peristaltik saluran cerna.
• Tonus semua otot polos lain (misalnya kandung empedu, ureter, kandung kemih, uterus).
• Sekresi kelenjar keringat, kelenjar air ludah, kelenjar lembung, kelenjar usus, dan kelenjar-kelenjar lain (Wawansumantri, 2009).

Obat otonom
Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan impuls dalam sistem saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya atas reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ jantung dan kelenjar (Tjay & Rahardja, 2002).

Cara kerja obat otonom
Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumoral dengan cara menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan tempat pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu:
1. Hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitter
a. Kolinergik
Hemikolinium menghambat ambilan kolin ke dalam ujung saraf dan dengan demikian mengurangi sintesis asetilkolin. Toksin botulinus menghambat penglepasan asetilkolin di semua saraf kolinergik. Toksin tersebut memblok secara irreversibel penglepasan asetilkolin dari gelembung saraf di ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal. Toksin botulinum memproteolisis protein membrane; sintaksin dan SNAP-25 (synaptosome associated protein) yang berperan dalam fusi membran vesikel dengan membran prasinaps dalam eksositosis vesikel kolinergik. Toksin tetanus mempunyai mekanisme kerja yang serupa.
b. Adrenergik
Metiltirosin memblok sintesis norepinefrin dengan menghambat tirosin-hidroksilase, enzim yang mengkatalisis tahap penentu laju sintesis (rate limiting slope) norepinefrin. Sebaliknya, metildopa, penghambat dopa dekarboksilase, seperti dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi α-metil norepinefrin. Guanetidin dan bretilium juga mengganggu penyimpanan norepinefrin dengan akibat pengosongan norepinefrin di vesikel.
2. Menyebabkan penglepasan transmitter
a. Kolinergik
Racun laba-laba black widow yaitu latroroksin menyebabkan penglepasan asetilkolin (eksositosis) yang berlebihan, disusul dengan blockade.
b. Adrenergik
Banyak obat dapat meningkatkan penglepasan norepinefrin. Tergantung dari kecepatan dan lamanya penglepasan, efek yang terlihat dapat berlawanan. Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan norepinefrin yang relatif cepat dan singkat sehingga menghasilkan efek simpatomimetik . Sebaliknya reserpin, dengan memblok transport aktif norepinefrin dan transmitter lain misalnya 5-HT dan dopamin ke dalam vesikel menyebabkan pengosongan transmitter secara lambat dari vesikel. Norepinefrin di luar vesikel akan dipecah oleh MAO. Akibat pengosongan depot norepinefrin di ujung saraf, terjadi penurunan aktivitas yang bermanifestasi sebagai penurunan tekanan darah.
Bretilium dan guanetidin menghambat penglepasan neurotransmitter dari vesikel. Kokain dan antidepresi trisiklik menghambat ambilan kembali norepinefrin ke ujung saraf adrenergik.
3. Ikatan dengan reseptor
Obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitter disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan efek langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya efek transmitter pada sel tersebut karena tergesernya transmitter dari reseptor disebut antagonis atau bloker.
4. Hambatan destruksi transmitter
a. Kolinergik
Antikolinesterase merupakan kelompok besar zat yang menghambat destruksi asetilkolin karena menghambat AChE, dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh asetilkolin dan terjadinya perangsangan disusul blockade di reseptor nikotinik.
b. Adrenergik
Ambilan kembali norepinefrin setelah penglepasannya di ujung saraf merupakan mekanisme utama penghentian transmisi adrenergik. Hambatan proses ini oleh kokain dan imipramin mendasari peningkatan respon terhadap perangsangan simpatis oleh obat tersebut. Penghambat COMT misalnya entakapon hanya sedikit meningkatkan respon katekolamin, sedangkan penghambat MAO misalnya tranisilpromin, pargilin, iproniazid, dan nialamid hanya meningkatkan efek tiramin tetapi tidak meningkatkan efek katekolamin. Sekarang telah dikembangkan MAO yang lebih selektif. Monoaminoksidase-A yang menghambat MAO pemecah norepinefrin dan 5-HT dan penghambat MAO-B yang mneghambat pemecahan dopamin (Mutschler, 1991).

Penggolongan Obat Otonom
Menurut efek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5 golongan, yaitu:
1. Parasimpatomimetik atau kolinergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.
2. Simpatomimetik atau adrenergik
Efek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.
3. Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik
Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis
4. Simpatolitik atau penghambat adrenergik
Golongan obat yang menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf simpatis.
5. Obat ganglion
Golongan obat yang merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion (Pearce, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi 5. ITB. Bandung.
Pearce, E. C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta
Tjay, T. H dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Penerbit Gramedia. Jakarta
Wawansumantri. 2009. Sistem Syaraf Pada Manusia. Available online at http://www.scribd.com/doc/13342264/Sistem-Saraf-Pada-Manusia [diakses tanggal 26 Maret 2010].
Read more »

 
Powered by Blogger