Friday, September 7, 2012

Mengenal Histamin, Penyebab Alergi

Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam tanggapan imun lokal, selain itu senyawa ini juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di lambung dan sebagai neurotransmitter.
Sebagai tanggapan tubuh terhadap patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut.

Histamin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor histamin di sel. Ada 4 jenis reseptor histamin yang telah diidentifikasi, yakni:
Reseptor Histamin H1
Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan sistem syaraf pusat. Bila histamin berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan vasodilasi, bronkokonstriksi, nyeri, gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor histamin yang paling bertanggungjawab terhadap gejala alergi.

Reseptor Histamin H2
Ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung.

Reseptor Histamin H3
Bila aktif, maka akan menyebabkan penurunan penglepasan neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin.

Reseptor Histamin H4
Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus besar. Perannya sampai saat ini belum banyak diketahui.
Beberapa fungsi pengaturan di dalam tubuh juga telah ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin. Histamin dilepaskan sebagai neurotransmitter. Aksi penghambatan reseptor histamin H1  (antihistamin H1) menyebabkan mengantuk. Selain itu ditemukan pula bahwa histamin juga dilepaskan oleh sel-sel mast di organ genital pada saat terjadi orgasme.
Pasien penderita schizophrenia ternyata memiliki kadar histamin yang rendah dalam darahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena efek samping dari obat antipsikotik yang berefek samping merugikan bagi histamin, contohnya quetiapine. Ditemukan pula bahwa ketika kadar histamin kembali normal, maka kesehatan pasien penderita schizophrenia tersebut juga ikut membaik.
Histamin
Histamin adalah senyawa normal yang ada dalam jaringan tubuh, yaitu pada jaringan sel mast dan peredaran basofil, yang berperan terhadap berbagai proses fisiologis yang penting. Histamin dikeluarkan dari tempat pengikatan ion pada kompleks heparin-heparin dalam sel mast sebagai hasil reaksi antigen-antibodi bila ada rangsangan senyawa allergen. Senyawa allergen dapat berupa spora, debu rumah, sinar UV, cuaca, racun, tripsin, dan enzim proteolitik lain, deterjen, zat warna, obat makanan dan beberapa turunan amina. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asam amino histidin.
Pelepasan histamine terjadi akibat :
•    Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka
•    Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic,sehingga akan  melepaskan histamine dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
•    Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin oksidase sehingga histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap histamine atau mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.
•    Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama sel mast yang akan melepaskan histamin.
Histamin berinteraksi dengan reseptor yang spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamine dibagi menjadi histamine 1 (H-1) dan histamine 2 (H-2). Pengaruh histamin terhadap sel pada berbagai jaringan tergantung pada fungsi sel dan rasio reseptor H-1 : H-2. stimulasi reseptor H-1 menimbulkan :
•    Vasokonstriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar
•    Kontraksi oto bronkus, otot usus dan otot uterus
•    Kontraksi sel-sel otot polos
•    Kenaikan aliran limfe
Stimulasi reseptor H-2 menimbulkan :
¨      Dilatasi pembuluh paru-paru
¨      Meningkatkan frekuensi jantung dan kenaikan kontraktilitas jantung
¨      Kenaikan sekresi kelenjar terutama dalam mukosa lambung
ANTIHISTAMIN
Antihistamin adalah obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan kerja histamin dalam tubuh melalui mekanisme penghambatan bersaing pada reseptor H-1, H-2 dan H-3. Efek antihistamin bukan suatu reaksi antigen antibodi karena tidak dapat menetralkan atau mengubah efek histamin yang sudah terjadi. Antihistamin pada umumnya tidak dapat mencegah produksi histamin. Antihistamin bekerja terutama dengan menghambat secara bersaing interaksi histamin dengan reseptor khas.
Antihistamin sebagai penghambat dapat mengurangi degranulasi sel mast yang dihasilkan dari pemicuan imunologis oleh interaksi antigen IgE. Cromolyn dan Nedocromil diduga mempunyai efek tersebut dan digunakan pada pengobatan asma, walaupun mekanisme molekuler yang mendasari efek tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Berdasarkan hambatan pada reseptor khas antihistamin dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
v     Antagonis H-1, terutama digunakan untuk pengobatan gejala-gejalal akibat reaksi alergi
v     Antagonis H-2, digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung pada pengobatan penderita pada tukak lambung
v     Antagonis H-3, sampai sekarang belum digunakan untuk pengobatan, masih dalam penelitian lebih lanjut dan kemungkinan berguna dalam pengaturan kardiovaskuler, pengobatan alergi dan kelainan mental
Antagonis Reseptos H-1
Antagonis reseptor H-1 adalah senyawa yang secara kompetitif menghambat histamin pada reseptor H-1 dan telah digunakan secara klinis dalam beberapa tahun. Beberapa tersedia untuk dijual bebas, baik sebagai tunggal maupun di dalam formulasi kombinasi seperti pil flu dan pil untuk membantu tidur.
Antagonis H-1 sering disebut antihistamin klasik atau antihistamin H-1. antagonis H-1 menghambat efek histamin dengan cara antagonisme kompetitif yang reversibel pada reseptor H-1. Mereka mempunyai kemampuan yang diabaikan pada reseptor H-2 dan kecil pada reseptor H-3, contohnya : induksi kontraksi yang disebabkan histamin pada otot polos bronkioler ataupun saluran cerna dapat dihambat secara lengkap oleh agen-agen tersebut, tetapi efek pada sekresi asam lambung dan jantung tidak termodifikasi. Antagonis H-1 dibagi menjadi agen generasi pertama dan generasi kedua.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek sedatif yang relatif kuat, karena agen generasi pertama lebih mempunyai sifat menghambat reseptor autonom. Sedangkan antagonis H-1 generasi kedua kurang bersifat sedatif disebabkan distribusinya yang tidak lengkap dalam sistem saraf pusat.
Antagonis H-1 generasi pertama mempunyai banyak efek yang tidak berhubungan dengan penghambatan terhadap efek histamin. Sejumlah besar efek tersebut diduga dihasilkan dari kesamaan struktur umumnya dengan struktur obat yang mempunyai efek pada kolinoseptor muskarinik, adrenoreseptor-α, serotonin dan situs reseptor anestetika lokal. Beberapa dari efek tersebut mempunyai nilai terapeutik dan beberapa lainnya tidak dikehendaki.
Efek yang tidak disebabkan oleh penghambatan reseptor histamin :
1.    Efek sedasi
Efek umum dari antagonis H-1 generasi pertama adalah efek sedasi. Tetapi intensitas efek tersebut bervariasi. Efeknya cukup besar pada beberapa agen membuatnya sebagai bantuan tidur dan tidak cocok digunakan di siang hari. Efek tersebut menyerupai beberapa obat antimuskarinik.
1.    Efek antimual dan antimuntah
Beberapa antagonis H-1 generasi pertama mempunyai aktivitas mampu mencegah terjadinya motion sickness. Contoh obatnya : Doxylamine.
1.    Kerja antikolinoreseptor
Banyak agen dari generasi pertama mempunyai efek seperti atropin yang bermakna pada muskarinik perifer.
1.    Kerja penghambatan adrenoreseptor
Efek penghambatan reseptor alfa dapat dibuktikan pada beberapa antagonis H-1, namun penghambatan terhadap reseptor beta tidak terjadi. Penghambatan terhadap reseptor alfa tersebut dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Contoh obatnya adalah Promethazine.
1.    Kerja penghambatan serotonin
Efek penghambatan terhadap reseptor serotonin dapat dibuktikan pada agen antagonis H-1 generasi pertama. Contoh obat : Cyproheptadine.
1.    Efek parkinsonisme
Hal ini karena kemampuan agen antagonis H-1 generasi pertama mempunyai efek antikolinergik.
Contoh obat antagonis H-1 generasi pertama dan mekanismenya adalah :
1.    Doxylamine
Doxylamine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1, mengeblok kemoreseptor, mengurangi stimulasi vestibular dan menekan fungsi labyrinthine melalui aktivitas kolinergik pusatnya.
1.    Clemastine
Clemastine berkompetisi dengan histamin untuk menempati reseptor histamin 1 pada efektor di saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan.
Antagonis histamin 1 generasi 2
Pada reaksi alergi, alergen (semacam antigen) berinteraksi dan membentuk ikatan silang dengan permukaan dari antibodi IgE pada sel mast dan basofil. Ketika terjadi kompleks sel mast antibodi-antigen, akan memacu terjadinya degranulasi dan pelepasan histamin (dan mediator lainnya) dari dalam sel mast maupun basofil. Setelah dilepaskan,histamin dapat bereaksi (menimbulkan efek) pada jaringan yang terdapat reseptor histamin.
Proses release histamin tidak terjadi secara langsung, melainkan diawali dengan transduksi signal. Proses transduksi signal adalah proses masuknya signal ke dalam sel sehingga membuat sel bereaksi dan menimbulkan efek. Ketika alergen masuk pertama kali ke dalam tubuh, TH-2 limfosit akan mengeluarkan IL-4, IL-4 menghasilkan signal yang merangsang B-sel (suatu sel limfosit) untuk menghasilkan antibodi IgE. Ketika alergen menyerang untuk yang kedua kalinya, IgE berikatan dengan alergen dan dibawa menuju sel mast. Pada sel mast kompleks IgE-alergen akan terikat pada reseptor Fcε (Epsilon-C reseptor). Ikatan ini akan menghasilkan signal ke dalam sel yang akan mengaktifkan enzim fosfolipase. Fosfolipase akan mengubah phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) menjadi inositol 1,4,5-triphosphate (IP3) yang akan memobilisasi Ca2+ dari organel penyimpan dalam sel mast. Ca2+ merupakan second messenger bagi terjadinya kontraksi otot atau sel. Second messenger inilah yang memacu proses degranulasi sel mast sehingga histamin akan terlepas.
Histamin bereaksi pada reseptor H-1, dapat menyebabkan pruritus (gatal-gatal), vasodilatasi, hipotensi, wajah memerah, pusing, takikardia, bronkokonstriksi, menaikkan permeabilitas vaskular, rasa sakit dan lain-lain. Histamin merupakan produk dekarboksilasi dari asan amino histidin. Histamin terdapat dalam sel mast dan leukosit basofil dalam bentuk tidak aktif secara biologik dan disimpan terikat dalam heparin dan protein basa. Histamin akan dibebaskan pada reaksi hipersensitivitas pada rusaknya sel dan akibat senyawa kimia. Antihistamin adalah obat yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari reseptornya sehingga mampu meniadakan histamin.
Reseptor H-1 disebut juga metabotropik G-protein coupled reseptor. G-protein yang terdapat dalam reseptor H-1 menghasilkan fosfolipase dan fosfatidylinositol. Kedua senyawa inilah yang bertindak sebagai penunjuk jalan histamine sampai ke reseptor H-1. Pelepasan histamin dapat diinduksi oleh produksi enzim prostaglandin sintase. Sebagai akibatnya terjadi pelepasan histamine yang berlebihan sehingga menyebabkan vasodilatasi karena histamine menginduksi endotel vaskuler yang menghasilkan cGMP di otot polos. cGMP inilah yang menyebabkan vasodilatasi. Efek ini dapat dihilangkan dengan adanya antagonis histamin H-1 dimana mekanisme kerjanya bersifat inhibitor kompetitif terhadap reseptor-reseptor histamin.
Antagonis histamin H-1 terdiri dari 3 generasi : generasi 1,generasi 2 dan generasi 3. Perbedaan antara generasi 1 dan generasi 2 terletak pada efek samping yang ditimbulkan, generasi 1 menimbulkan efek sedatif sedangkan generasi 2 pada umumnya non sedatif karena generasi 2 pada umumnya tidak dapat menembus blood brain barrier(bersifat lipofobik dan bulky), sehingga tidak mempengaruhi sistem saraf pusat. Selain itu, antihistamin H-1 generasi 2 bersifat spesifik karena hanya terikat pada reseptor H-1. Beberapa obat generasi 2 dapat menghambat pelepasan mediator histamin oleh sel mast.
Obat antihistamin H-1 generasi 2 tidak bisa digolongkan berdasarkan struktur kimianya karena meskipun memiliki struktur kimia dasar yang sama, obat tersebut masih memiliki gugus fungsional tambahan yang berbeda. Contoh : sterfenadine, aztemizole, nuratadine, ketotifen, levokaloastin, mempunyai cincin piperidin tetapi tidak dapat dimasukkan dalam satu golongan karena mempunyai gugus fungsional tambahan yang berbeda.
Efek samping antagonis histamin H-1 G2 :
-          Allergic – photosensitivity, anaphylactic shock, drug rash, dermatitis
-          Central nervous system* – somnolence / drowsiness, headache fatigue, sedation
-          Respiratory** – dry mouth, nose and throat (cetirizine, loratadine)
-          Gastrointestinal** – nausea, vomiting, abdominal distress (cetirizine, fexofenadine
Obat-obat antagonis histamin H-1 G2 :
•    Cetirizine (Zyrtex)
Cetirizine HCl merupakan antagonis reseptor H-1. Nama kimianya adalah (±) – [2-[4-[(4-chlorophenyl)phenylmethyl]-1-piperazinyl]ethoxy]acetic acid. Rumus empirisnya adalah C12H25C4N2O3.2HCl dan Bmnya 461,82.
Cetirizine dapat menurunkan jumlah histamin dengan mengurangi jumlah produksi prostaglandin dan menghambat migrasi basofil yang diinduksi oleh antigen. Indikasi : seasonal allergic rhinitis (karena pollen, rumput). Perennial allergic rhinitis (karena debu, bulu binatang, dan jamur). Chronic urticaria. Efek samping : anoreksia, tachycardia, migraine, konstipasi, dehidrasi.
•    Fexofenadine
Fexofenadine HCl (paten: Allegra dan Telfast) adalah suatu obat antihistamin yang digunakan untuk pengobatan demam dan gejala alergi yang mirip lainnya. Obat ini merupakan obat alternatif dari terfenadine yang memiliki kontra indikasi yang serius. Fexofenadine seperti antagonis H1 generasi 2 dan 3 lainnya, tidak dapat melewati blood brain barrier dan kurang menyebabkan efek sedative dibandingkan dengan obat generasi 1. kerja dari obat ini adalah sebagai antagonis dari reseptor H1.
Indikasi : seasonal allergic rhinitis, chronic idiopathic urticaria.
Efek samping : dizziness, back pain, cough, stomach discomfort, pain in extremity.
Kontraindikasi : pada pasien dengan hipersensitifitas dengan fexofenadine dan beberapa aksus lainnya yang jarang terjadi menyebabkan angiodema, sesak nafas, kemerahan pada kulit dan anafilaksis.
Terdapat obat-obat generasi dua yang dapat mengakibatkan cardiotoxic seperti astemizole. Obat astemizole dapat berikatan dengan potassium (K) channel, yang merupakan reglator potensial membrane sel. Ikatan ini dapat menyebabkan terganggunya fungsi potassium channel menyebabkan Long QT Syndrome. Long DT Syndrome merupakan perpanjangan dari QT interval. Apabila QT interval panjang, secara otomatis ritme jantung akan menurun, disebut juga dengan bradycardia. Bradycardia akan menyebabkan kurngnya supply oksigen dalam tubuh dan juga penyumbatan aliran darah (heart block).

Diambil dari berbagai sumber
Read more »

Hak Pasien Atas Obat

oleh : Drs. Yudi Hardi Susilo, Apt*

        Yang dimaksud dengan obat disini adalah semua zat baik itu kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit berikut gejalanya. Di beberapa pustaka disebutkan bahwa tidak semua obat memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, namun ada pula yang pada awalnya digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh. Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun-panah penduduk pribumi Afrika dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-mustard yang semula digunakan sebagai gas-racun (mustard gas) pada perang dunia pertama. (Obat-obat Penting,2002).
        Di kalangan masyarakat istilah obat biasanya dikenal dalam berbagai pengelompokan, seperti :  obat paten, obat generik, obat tradisional/jamu, obat keras, narkotika, obat dengan resep, obat tanpa resep, obat racikan, obat cina dan istilah obat lainnya misalnya yang berkaitan dengan harga misalnya istilah obat murah dan obat mahal. Pengertian obat paten atau dalam kamus obat dikenal dengan nama spesialite adalah obat milik suatu perusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum, yaitu merek terdaftar atau proprietary name. Sedangkan yang dimaksud dengan obat generik adalah nama obat sesuai dengan kandungan zat berkhasiat obat tersebut. Sebagai contoh : Asam Mefenamat (nama/obat generik) terdapat dalam obat paten seperti Ponstan, Mefinal, Pondex, Topgesic dan masih banyak lagi. Begitu juga dengan Amoxycillin(nama/obat generic) terdapat dalam nama obat paten seperti Amoxsan, Kalmoxillin, Kimoxil, dan juga masih banyak lagi nama obat paten dengan kandungan yang sama.
        Walaupun berisikan kandungan zat berkhasiat dengan nama generik/official yang sama namun setiap obat paten mempunyai harga yang berbeda-beda dari pabrik yang memproduksiya. Perbedaan harga tersebut umumnya terkait dengan faktor-faktor pembuatan obat tersebut dari mulai jenis bahan baku yang digunakan, alat-alat produksinya, biaya produksi, mutu pengujiannya, cara pengemasan sampai dengan promosi pemasarannya. Semua faktor tersebut kemudian dihitung serinci mungkin sehingga diperoleh harga netto dari pabrik yang selanjutnya dijual dalam jumlah besar kepada para pedagang besar farmasi(PBF)/distributor. Apotek kemudian membeli obat tersebut sebagai harga netto untuk apotek(HNA) yang selanjutnya dijual kepada konsumen dengan harga yang berbeda-beda tergantung masing-masing apotek menetapkan faktor harga jual apotek(HJA)nya. Perbedaan harga yang sampai ke konsumen ini masih mendapat toleransi dari pemerintah pada range faktor harga penjualan/ harga eceran tertinggi (HET) tertentu.
        Jumlah item obat di Indonesia itu sendiri sampai saat ini sudah mencapai lebih dari 5.000 macam obat, baik itu obat paten maupun obat generik sehingga hampir dipastikan, setiap apotek tidak mungkin menyediakan seluruh item obat tersebut secara lengkap, hal ini dikarenakan tidak semua obat tersebut digunakan oleh pasien atau bahkan distributor tidak menyediakan karena memang sebagian besar obat memang tidak pernah ditulis oleh dokter dan tidak pernah dipesan oleh apotek. Keadaan ini perlu dipahami oleh pasien bahkan juga oleh dokter penulis resep, mengingat ada kasus seorang pasien yang membawa resep dari dokter, merasa putus asa untuk mencari obat tersebut di seluruh apotek di Sulawesi Selatan, baik itu di Makassar, Parepare atau pun daerah lainnya. Bahkan distributor dari asal obat tersebut juga tidak menyediakan obat tersebut karena selama ini memang tidak ada kasus yang menyebabkan distributor harus menyediakan obat tersebut. Setelah ditelusuri ternyata dokter penulis resep menuliskan obat berdasarkan pengalamannya bahwa di Jawa banyak tersedia obat tersebut, tanpa memberikan alternative lainnya jika obat tersebut tidak tersedia sehingga pasien tidak merasa dipersulit untuk mencari alternative penyembuhan untuk diri atau keluarganya.
        Kasus di atas merupakan salah satu dari peristiwa yang berhubungan dengan hak pasien atas obat. Hal ini karena seharusnya pasien berhak mendapatkan obat yang diinginkannya sesuai resep dokter. Namun pasien juga berhak atas penggantian obat apabila memang obat tersebut tidak tersedia di Apotek dengan jalan berkonsultasi kepada dokter atau Apoteker di Apotek. Penggantian obat secara ilmiah tidak menyalahi aspek pengobatan karena apabila obat pengganti mempunyai kandungan dan komposisi zat berkhasiat yang sama maka obat tersebut juga memiliki khasiat/indikasi yang sama pula dengan obat sebelumnya. Kemanjuran obat menurut ilmu farmakologi biasanya terkait dengan aspek farmasi yang disebut dengan tingkat bioavailabiltas(ketersediaan hayati) obat . Maksudnya adalah obat dinyatakan telah manjur apabila telah dilakukan pengujian dengan sediaan hayati dan melalui melalui tes sediaan, obat tersebut telah layak dikonsumsi oleh manusia. Pasien berhak mengetahui aspek seperti ini agar saat memperoleh kesempatan menkonsumsi obat, pasien tidak kebingungan dan terpaku pada obat di satu pabrik saja. Pasien dalam hal ini berhak menentukan obat yang akan digunakan termasuk juga berhak memperoleh informasi tentang khasiat, efek samping, kontraindikasi, alternative obat lainnya bahkan harga obat.  Hal ini telah diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4 butir c dan g, dan juga Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2, menyatakan hak-hak yang dapat diperoleh seorang pasien. Hak-hak tersebut seperti hak atas akses informasi yang benar, jelas dan jujur, dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur dan tidak diskriminatif.
        Hak pasien atas obat sebenarnya merupakan kewajiban pasien untuk melindungi dirinya sendiri, mengingat sediaan obat tidak bisa disamakan dengan sediaan konsumtif lainnya. Konsep dasar obat dari dulu hingga sekarang tetaplah sama yaitu obat adalah racun. Sifatnya yang bisa menyembuhkan dan mengurangi sakit hanya terjadi apabila seseorang mengalami gangguan pada fungsi anatomi dan fisiologinya. Pada orang yang sehat, obat sama sekali tidak berguna bahkan cenderung merusak organ tubuh yang lainnya seperti ginjal dan hati. Begitu juga apabila cara pengobatannya tidak tepat atau dalam istilah farmasi tidak rasional, maka obat tidak akan menyembuhkan penyakit tetapi justru memperparah penyakit yang ada dan bahkan akan menimbulkan penyakit baru bagi dirinya. Dengan demikian bagi pasien tidak ada kata lain untuk wajib mematuhi prosedur pengobatan yang telah dianjurkan oleh petugas medis yang mengetahui tentang rasionalitas pengobatan. Namun tentunya pasien harus kritis dan tanggap apabila ada yang memaksa melakukan pengobatan atau berobat dengan produk pabrik tertentu. Walaupun secara indikasi tepat dan manjur, namun bisa dipastikan harganya akan menjadi tidak normal karena biasanya petugas medis yang menggunakan satu produk pabrik saja akan terlibat aspek promosi untuk memasarkan produk tersebut dan apabila ini terjadi faktor harga menjadi apek penting dalam rasionalitas pengobatan.
        Demikian pula dalam hal memilih apotek, pasien berhak menebus obat di semua apotek yang ada , dan tidak ada keharusan terikat dengan satu apotek meskipun itu dalam rumah sakit. Tentunya dengan catatan ada keterbatasan-keterbatasan seperti tata cara pengeluaran obat narkotika. Namun untuk pelayanan kefarmasian lainya, pasien berhak menentukan sendiri pelayanannya di bidang obat. Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan panduan pasien untuk memilih apotek yang baik, antara lain: Pertama,  Apoteker dan asisten apoteker bekerja secara professional, artinya pasien berhak menilai dan memilih apotek pilihannya dari cara kerja apoteker dan asistennya. Profesionalisme petugas apotek ini akan mempengaruhi tingkat rasionalitas pengobatan yang digunakan pasien karena dengan adanya apoteker dan asistennya, pasien dapat memperoleh informasi lainnya yang berhubungan dengan prosedur pengobatan yang dideritanya. Jika tidak ada, maka yang terjadi hanyalah transaksi jual-beli saja. Kedua, Pilih apotek yang memiliki pelayanan yang cepat dan akurat, artinya cepat dalam hal waktu dan akurat dalam ketepatan obat sesuai yang diinginkan. Ketiga, Pilih apotek yang menyediakan obat yang terjamin keaslian, kualitas, legalitas dan informasinya. Hal ini mengingat saat ini banyak beredar obat-obat palsu yang justru merugikan pasien walaupun harganya murah. Keempat, Pilih apotek yang memiliki tata cara peracikan sesuai standar pembuatan obat yang baik. Hal ini untuk menjamin pasien akan memperoleh produk obat yang tepat, bersih dan manjur, karena apabila apotek terlihat kumuh, kotor dan berantakan bisa dipastikan kualitas peracikan tidak terjamin kebersihan dan kemanjurannya walaupun harga obatnya murah. Kelima, pasien harus memlih apotek yang selalu memberikan edukasi, informasi dan dokumentasi obat yang tersedia. Hal ini mengingat sangat berharganya edukasi, informasi dan dokumentasi tersebut bagi prosedur pengobatan. Keenam, pasien bisa memilih apotek yang selalu mengutamakan kesembuhan sebagai hasil akhir terapi tercapai. Apotek seperti ini tentu akan selalu melayani pasien atas obat dengan sebaik mungkin sebagai wujud dari komitmen dan konsekuensi dalam pengabdian untuk selalu menyehatkan masyarakat.
        Pasien yang cerdas dan petugas medis yang professional menjadi syarat meningkatkan taraf kesehatan bangsa ini dan akan mengurangi tingkat kesalahan yang terjadi dalam dunia kesehatan dan pengobatan. Sangat naif bila keduanya tidak mau berusaha mewujudkannya, karena konsekuensi yang terjadi akan jauh lebih berat dari perbuatan bodoh dan ketidakprofesionalan yang telah dilakukan. Apabila ada kasus yang terjadi, masyarakat tidak wajib menyalahkan satu sama lain karena kewajiban dan hak masing-masing sudah ada tempatnya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Penulis :
  Nama        : Drs. Yudi Hardi Susilo, Apt
  Jabatan :
-    Pimpinan PT. Kimia Farma Apotek Kota Parepare
-    Alumnus Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta
  Alamat     :
-    Kantor : Apotek Pelengkap RSUD Andi Makassau Parepare
-    Rumah : Jl. Wekke’e Perum Jawi-jawi Permai RT2 RW3 No.55(A/10) Parepare
  Situs Homepage : www.kimiafarmapare.com atau www.yudihardis.com
  Emai : yudihardis@yahoo.co.uk  Telp : 0421-22237 HP : 0 8 1 3 4 8 2 0 3 3 3 3
  Nomor KTP : 21.5102.260376.7375 berlaku sampai 07 Maret 2009
Read more »

 
Powered by Blogger